Kumpulan Pengabdi Oleh: Dahlan Iskan
![]() |
Ketua Umum PP Muhammadiyaha, Prof DR KH Haedar Nasir Msi bersama Sekeretaris Umum Prof DR Abdul Mu'ti M.Ed periode 2022-2027 |
Tidak ada
kubu-kubuan.
Tidak ada tim
sukses.
Tidak ada kampanye
terselubung.
Yang terpilih
menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun Anda sudah tahu: Prof
Dr Haedar Nashir. Sosok lama yang terpilih kembali. Untuk periode kedua.
Saya merenungkannya:
mungkinkah sistem Pemilu Muhammadiyah ini diadopsi untuk pilpres tingkat negara
Indonesia. Kita tahu pemilu dan pilpres kita itu terlalu berdarah-darah.
Terlalu mahal.
Terlalu memecah
belah masyarakat.
Kita memang bangga pada sistem demokrasi Amerika tapi kita tidak siap menirunya apa adanya.
Saya dikirimi foto
dari Solo, tempat Muktamar Muhammadiyah itu berlangsung.
Sidang plenonya
dilakukan di auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sahabat Disway itu
menyebut inilah auditorium terbesar, termegah, dan terbaik di seluruh Jawa
Tengah.
Di situlah peserta muktamar terpusat.
Di luarnya puluhan
ribu warga Muhammadiyah menyaksikannnya: lewat pikiran masing-masing. Mereka
datang dari berbagai wilayah dengan status khusus: penggembira.
Mereka bukan
utusan.
Mereka bukan
peserta.
Mereka bukan
pendukung salah satu calon ketua.
Mereka tidak punya
hak suara.
Mereka tidak punya
hak bicara.
Mereka hanya punya
hak untuk bergembira.
Dan mereka gembira
dengan budaya bersih dan damai di Muktamar Muhammadiyah. Termasuk tahun ini
bersih secara fisik: tidak ada sampah di tengah puluhan ribu masa. Mereka sudah
tahu itu. Sebelum berangkat ke Solo mereka sudah harus membawa misi inilah green
Muktamar.
Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) memang salah satu dari 4 universitas terbesar
milik Muhammadiyah. Tiga lainnya: UMM (Malang), UMY (Yogyakarta), dan UMSU
(Medan). Di luar itu Muhammadiyah masih punya lebih 180 perguruan tinggi di
seluruh Indonesia.
Bahkan sekarang ini
Muhammadiyah sudah punya 6 SMA di wilayah yang mayoritas masyarakatnya Kristen
atau Katolik.
Di Flores.
Di Timor.
Di Papua.
Di pedalaman
Kalbar.
Kebanyakan siswa
sekolah Muhammadiyah di situ beragama Kristen/Katolik. Mereka mendapatkan
pelajaran agama Kristen/Katolik. Tidak mendapatkan pelajaran agama Islam.
Mereka mendapat pelajaran tambahan ke-Muhammadiyah-an.
Sekjen Muhammadiyah
selama ini Prof Dr Abdul Mu'ti memang dikenal sebagai pendiri Krismuha –Kristen
Muhammadiyah. Ia memang orang Kudus. Kelahiran Kudus, Jateng. Doktornya dari
Adelaide, Australia. Ia mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Saya menghubungi
beliau kemarin siang. "Masih rapat," katanya. Saya menghubungi Prof
Dr Anwar Abbas. "Lebih tepat wawancara Prof Mu'ti," katanya.
Maka saya wawancara
dengan penggembira. Banyak di antara mereka yang saya kenal.
Para penggembira
itu tidak perlu kemrungsung menanti siapa yang terpilih jadi ketua umum yang
baru. Proses pemilihan pimpinan pusat di Muhammadiyah sangat rasional.
Setahun yang lalu
pun sudah dibentuk panitia pemilihan. Di tingkat pusat. Diketuai Dahlan Rais.
Panlih itu mengirim surat ke pengurus wilayah (tingkat provinsi) seluruh
Indonesia. Masing-masing wilayah diminta mengusulkan 13 nama calon pimpinan
pusat.
Yang dicalonkan
boleh dari mana saja asal memenuhi syarat seperti yang diatur oleh anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga.
Panlih lantas
mentabulasi nama-nama yang diusulkan itu. Tahun ini terkumpul 200 lebih nama.
Pekerjaan Panlih berikutnya: meneliti 200 nama itu. Apakah ada yang tidak
memenuhi syarat administrasi seperti disebut dalam AD/ART.
Ternyata banyak
juga wilayah yang mengusulkan tanpa melihat persyaratan di AD/ART. Setelah
diteliti, Panlih mendapatkan 90 nama calon.
Mereka itu dikirimi
surat. Harus menyatakan bersedia atau tidak. Harus mengisi daftar riwayat
hidup. Termasuk hidupnya di Muhammadiyah. Pernah jadi pengurus apa saja.
Jumlah 90-an inilah
yang kemudian dibawa ke sidang Tanwir pengurus pusat Muhammadiyah. Sidang Tanwir
adalah sidang yang tingkatnya di bawah Muktamar. Sidang Tanwir ini berlangsung
Jumat lalu, dua hari sebelum Muktamar.
Majelis Tanwir
inilah mengerucutkan 90 nama itu menjadi 39 calon. Caranya sangat demokratis.
Masing-masing anggota majelis memilih nama. Terpilihlah 39 nama dengan suara
terbanyak.
Dengan demikian,
sejak sidang majelis Tanwir itu, aktivis Muhammadiyah sudah tahu siapa saja 39
nama calon pimpinan pusat Muhammadiyah mendatang.
Nama 39 orang
itulah yang kemarin dibawa ke Muktamar Solo. Peserta Muktamar tidak memilih
ketua umum, tapi memilih 13 nama yang akan menjadi pengurus pusat Muhammadiyah.
Terserah pada 13 orang itu: siapa yang salah satunya akan menjadi ketua umum.
Yang 12 orang mendampingi sebagai pengurus pusat lainnya.
Kenapa 13 nama?
Bukan 17 atau 9 atau 5 atau 45?
Saya pernah membaca
keterangan Prof Dr Din Syamsuddin, orang Sumbawa yang pernah jadi ketua umum
pengurus pusat Muhammadiyah. Katanya: tidak ada alasan khusus. Menetapkan
jumlah itu bisa menimbulkan perdebatan panjang. Apalagi kalau harus
dikait-kaitkan dengan kekeramatan sebuah angka. Justru misi Muhammadiyah harus
melakukan dekramatisasi angka. Maka dipilihlah angka 13. Sekalian jadi lambang
dekramatisasi angka 13 yang dianggap sebagai angka sial.
Dan ternyata
Muhammadiyah tidak pernah sial. Sudah sekian kali muktamar dengan angka itu
tetap saja lancar jaya.
Kenyataannya 13
orang itu sebenarnya kurang. Pengurus pusat Muhammadiyah perlu lebih dari 20
orang. Ya ditambah saja. Yang 13 orang itu diberi wewenang untuk menambahnya.
Di Pemilu kemarin
malam itu lancarnya bertambah-tambah: pakai komputer. Ini untuk kali pertama
pemilihannya pakai e-voting. Memang belum sepenuhnya elektronik. Belum
pakai HP masing-masing. Peserta Muktamar masih harus maju ke suatu bilik suara.
Di dalam bilik itu ada komputer. Peserta tinggal klik untuk pilih siapa.
Beberapa bilik disediakan di bagian depan ruang muktamar. Cepat sekali.
Langsung tertabulasi. Terpilihlah 13 nama.
Acara berikutnya:
13 nama itu bersidang. Singkat sekali. Penyebabnya: salah satu dari 13 nama
tersebut adalah ketua umum incumbent: Prof Dr Haedar Nashir. Maka aklamasi
terjadi. Beliau terpilih kembali. Selesai.
Dengan sistem
pemilu seperti itu, Muhammadiyah bisa menghindari banyak virus yang merusak
organisasi. Termasuk tidak mungkin terjadi, misalnya, seseorang tokoh tiba-tiba
jadi pimpinan, hanya bermodalkan popularitas atau kekuasaan.
Pernah terjadi
seorang tokoh Muhammadiyah dicoret dari daftar calon. Padahal ia seorang
menteri. Ia harus menerima itu. "Padahal saya ini kurang Muhammadiyah
apa?" keluh tokoh tersebut. Ternyata ia belum pernah menjadi ketua wilayah
Muhammadiyah. Atau ketua majelis otonom di kepengurusan pusat. Ia adalah:
Menteri Agama Tarmizi Taher.
Tentu iklim di
Muhammadiyah sendiri yang juga memungkinkan sistem tersebut bisa dilaksanakan.
Tertib administrasi dan tertib organisasi di Muhammadiyah terkenal disiplinnya.
Pun dalam hal keuangan. Tidak ada keuntungan finansial apa pun untuk menjabat
ketua umum Muhammadiyah. Juga tidak mendapat fasilitas. Termasuk tidak bisa
''menjual'' Muhammadiyah dalam pemilu atau pilpres. Maka Muhammadiyah lebih
sebagai kumpulan para pengabdi. Tidak terpilih pun apa susahnya. Mengabdi bisa
di mana saja.
Akhirnya siapa yang
jadi pimpinan Muhammadiyah sudah terseleksi secara ketat. Berjenjang.
Transparan.
Hampir tidak
mungkin terjadi kasus ''salah pilih''.(Dahlan Iskan)
Posting Komentar